Last Dance
Tuhan
bolehkah aku sedikit saja meminta kebaikan hati-Mu sebelum pergi?
Sederhana
saja, aku hanya ingin ia mengetahui hadirku meskipun dalam kesempatan yang
tinggal menghitung detik. Aku ingin mendekapnya erat,
menghentikan sepasang air terjun di matanya, dan meyakinkannya bahwa
ia mampu melewati semua ini.
Bagaimana
pun juga, ini bukanlah kesalahannya, bukan keinginannya, bukan juga realita
yang seharusnya ia tanggung. Aku hanya... Aku tidak lain hanya kehabisan waktu
untuk memberitahukan padanya bahwa aku benar-benar mencintainya.
***
Ia
sedang duduk termenung meratapi keramik persegi bertuliskan namaku
tanpa mengindahkan senja di atas kepalanya. Lagi-lagi, warna matanya
menjelaskan kelam hatinya lewat tetes-tetes menyerupai sungai kecil
yang mendedangkan nada minor. Tubuhnya terlihat ringkih, rahangnya
bergetar hebat, dan bibir tipisnya terkatup melepaskan bait doa padat
permohonan untuk merayu kemustahilan demi mengembalikan waktu
sebelum takdir mencetuskan kesanggupannya merebut aku.
Kuyakin
jika kau berada di posisiku, kata hancur, remuk, lebur, luluh lantak, tak cukup
untuk mendeskripsikan apa yang kurasa demikian saat ini.
Di
ujung jalan, tampak seorang pria dengan setangkup senyum sabar menunggunya. Aku
perlahan turun dari angkasa untuk menghampiri gadisku, menerobos gumpalan awan
kemuning yang menyemburatkan gradasi warna biru, oranye, merah muda, dan
kelabu, yang menyajikan lukisan Tuhan yang maha agung. Burung-burung
yang hendak pulang ke sarangnya melintas seiring aku merendah.
Akhirnya,
kakiku menyentuh bumi, lalu kuperintahkan kakiku untuk berlari
secepat mungkin walau aku sadar aku tak lebih lambat dari seekor kura-kura.
Seluruh nadi di jantungku berdenyut hebat menimbulkan kabut di pelupuk mataku.
Dadaku bergemuruh seperti kali kedua aku bertemu gadisku di pasar
malam untuk berkencan. Aku tersenyum dan mencoba untuk menyentuhnya, tapi
ragaku tak dapat melanggar hukum dimensi lain. Lenganku menembus tubuh gadisku.
Tuhan,
kumohon untuk kali ini saja, batinku penuh doa.
Kemudian,
perlahan, kurasakan tubuhku bercahaya, kemudian memadat tapi tetap tak dapat
digapai mata yang masih bernyawa. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Segera kupeluk gadisku erat. Namun ia hanya terdiam, berdiri mematung.
Rasakan,
aku memelukmu.
Tangis
gadisku berhenti perlahan, ia terpejam. Lantas, aku berbisik lekat-lekat
di telinganya, “Aku mencintaimu,
Maharani. Jaga dirimu baik-baik sampai kita bertemu kembali.”
Aku
merasakan debar jantung gadisku berdebar seirama dengan jantungku. Sungguh,
meski aku tidak tahu apakah ia benar-benar merasakan kehadiranku, tapi aku
sangat bahagia. Kulihat gadisku tersenyum, meskipun ia memalingkan
wajahnya, ia berkata dalam hati, suaranya menutup gendang telingaku dari
eksistensi suara di bumi ini.
“Aku pun mencintaimu, Arjuna. Selamat
jalan dan jangan sampai tergoda oleh bidadari di surga.”
Aku
terkekeh. Tentu sudah pasti aku akan membuat para bidadari cemburu dan merajuk
ketika mendengar jawaban siapa orang pertama yang ingin kutemui di nirwana.
Pria
di ujung jalan itu tampak melihat ke arah kami. Sepasang matanya seolah dapat
melihat keberadaanku. Aku cukup kaget ketika mendengar pria
itu dapat berbicara lewat bahasa sukma. “Hei, sobat, Aku tahu, aku tidak akan pernah bisa menggantikan
posisimu di hati Maharani. Tapi aku berjanji, aku akan mencintainya dengan
seluruhku.”
Aku
tersenyum dan membalasnya dari kejauhan dengan suara yang disampaikan
embusan angin yang mengajak dedaunan di sekitar menari.
“Kututipkan Maharani padamu, cintai
ia lebih dari kesanggupanku.”
Pria
itu tersenyum tipis dan mengangguk pelan, namun yakin.
Tiba-tiba
entah dari mana asalnya, sesosok cahaya putih bersayap lebar yang
sangat menyilaukan berada di belakangku, terlalu terang untuk kucerna
bentuknya. Lengan dari cahaya itu menepuk pundakku, mengisyaratkan bahwa
waktuku sudah habis. Dengan senyum tidak rela, aku mengecup kening
gadisku, lalu melepas pelukan.
Permintaan terakhirku tersampaikan.
Tanpa
aba-aba, aku kembali melesat ke angkasa dengan laju yang lebih kencang
dari kecepatan cahaya. Melintasi antar galaksi dan bintang-bintang
untuk menuju tempat di mana aku menunggu gadisku sampai tiba
waktunya ia menyusulku.
Terima kasih, Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar