Crimson Lotus
Rasa
takut kehilangan ini menyeruak paksa di batinku lagi. Kukira kekhawatiran ini
hanyalah manipulasi yang dibuat pikiranku sendiri. Sore itu, seminggu
lalu, aku menjemputmu di kantor dan kudapati kamu sedang mengobrol bersamanya
dengan tatapan yang tak biasa. Namun sekarang, debar jantung yang berpacu cepat
dan pupil matakulah yang membuktikannya.
***
Di
meja bundar kafe ini, aku, kamu, dan dia duduk melingkar dan
mulai menghiraukan tarian gemulai uap kopi yang sangat menggoda untuk
dinikmati. Kita bertiga sama-sama sibuk. Aku yang bertopang dagu dengan diam
yang berisi keringat dingin dan penuh dengan prasangka buruk, dan kalian dengan
topik obrolan pekerjaan yang dibahas layaknya teman lama.
Jika
aku memiliki kemampuan sihir sudah pasti kuucapkan mantra, “Aresto momentum!” Seperti
ketika Dumbledore menghentikan waktu untuk menolong Harry yang terjatuh dari
sapu terbangnya. Aku ingin menghentikan waktu dan memelukmu erat, Diandra.
Kau adalah kekasih yang menemaniku melahirkan bahagia sejak dua tahun lalu
sebelum aku memiliki materi yang cukup untuk bekal meraih restu.
Dia
yang kumaksud adalah Edgar. Dia sahabatku sejak SMA yang baru pulang dari
Inggris setelah menyelesaikan kuliah S2 arsitekturnya. Aku bertemu
denganmu tepat sehari ketika Edgar berangkat ke sana. Aku tidak
bercerita banyak tentangmu kepadanya, karena kutahu waktunya terlalu
berharga jika dihabiskan untuk mendengarkan ceritaku perihal
kedekatan kita.
Secara
nyata, aku tidak melihat hal aneh yang terjadi di antara kalian yang kini
sedang bercengkrama selain bahasa tubuh yang mengikat ketertarikan. Namun
secara kasat mata, tanpa perlu memiliki kekuatan mata yang mampu menembus
dimensi pikiranmu, aku melihat gelombang kemistri yang terpancar dan menyatu
dari kedua mata kalian saat setiap kata berhasil dengan gemilang
disampaikan ujung lidah.
Kamu
tidak henti-hentinya tersenyum ketika mendengar Edgar menjelaskan perkembangan
proyek pembangunan gedung baru kantormu. Aku memicing dan melihat binar kedua
matamu mulai mengenali lebih dalam sosoknya di balik frame kacamata yang
kamu kenakan. Biasanya kamu melepas kacamata ketika duduk
berhadapan dengan orang selain aku. Kulihat pula Edgar mengikuti nalurinya
agar menyesuaikan cara menanggapi kalimat yang kamu ucapkan. Sebagai
sesama pria, aku tau itu adalah cara menunjukkan ketertarikan dan membuat
nyaman lawan bicara.
Entah
ini konspirasi semesta yang menjatuhkan karma untukku karena saat kuliah,
gadis yang didekati Edgar berbalik menyukaiku, dan gadis itu akhirnya
menjadi mantan pacarku yang kini tidak lagi terlihat batang hidungnya.
“Sayang,
kamu kok diam aja sih?” tanyamu dengan kening berkerut dan senyum heran ketika
pembicaraan kalian melahirkan jeda, membuyarkan lamunanku. Kebiasaanmu yang
menggenggam tanganku tiap kali bertanya pun tidak kamu lakukan. Barangkali
kamu menyadarinya dan sengaja, bisa juga tidak.
Edgar
menyikut pelan lenganku sambil terkekeh. “Iya, Lex, lo jadi kayak obat
nyamuk yang nemenin orang pacaran. Kan, elo pacarnya Diandra. Jangan bikin gue
nggak enak, lah.”
Aku
membalas teguran kalian dengan senyum santai dan menggelengkan kepala.
“Gue nggak tau harus nimbrung ngomong apa, jadi gue merhatiin kalian aja.
Hahaha. Santai, Gar.”
Kalian
berdua tidak tau aku sedang bertarung melawan ego.
Diandra,
bila benar kamu jatuh cinta dengan orang lain, yang juga sahabatku
sendiri, maka aku akan merelakanmu. Karena aku tau, sekeras apa pun aku
melarangmu dan memintamu menjauhinya, benih cinta di antara kalian akan tetap
tumbuh menjadi pohon rindang tanpa peduli posisiku siapa. Lagipula dalam
jangka waktu yang cukup lama kalian akan sering bertemu. Jadi, bukan hal yang
tidak mungkin kalian semakin dekat dan hati kalian melekat.
Aku
tidak memaksamu untuk setia sebab bahagiamulah yang utama. Sejatinya cinta
tak pernah bisa jatuh pada dua hati, ia hanya berpindah. Aku
paham kamu hanya mengikuti arah hatimu yang berubah haluan. Jika pada
akhirnya kalian memang saling mencintai, peranku sebagai kekasihmu cepat atau
lambat akan berubah menjadi orang ketiga.
Sementara
kamu mulai fokus memperhatikan Edgar yang menunjukkan sketsa
bangunan gedung baru kantormu yang ia buat di laptopnya,
kepalaku mulai bergelut dengan kenangan kita sambil menyeruput kopi yang
setengah dingin. Dan lagi, entah ini konspirasi atau bukan, kopi yang kupesan
tidak ditambahkan gula oleh barista yang membuatnya. Rasanya tidak buruk, hanya
saja pahitnya sungguh menggigit.
Tetapi
bukankah kesempurnaan kopi terletak pada rasa pahitnya?
Dengan
tambahan kenyataan seperti ini, pahit kopi dan proses perubahan definisi kita
terkonversi menjadi partikel yang hanya bisa kuobati dengan keikhlasan.
Aku sadar emosi negatif yang bergerumul di kepala dan dadaku
kini hanya bagian ego yang akan meremuk redam diriku jika kutunjukkan,
oleh karena itulah aku memilih mengambil sikap biasa-biasa saja.
Aku
berdeham seraya berdiri, membuat ekor matamu melirik ke arahku, lalu aku
berkata, “Di, aku pulang duluan, ya? Asam lambungku kayaknya naik lagi nih
gara-gara kopi. Kamu lanjut aja sama Edgar.”
“Hah?
Sejak kapan lo punya penyakit asam lambung?” sahut Edgar sambil beranjak dari
posisi duduknya dengan ekspresi tidak percaya.
Kamu
menghadap ke arahku setelah sekilas menengok Edgar, kemudian berpikir sejenak.
“Ya udah, Lex, atau enggak nanti aku naik taksi aja.”
Bahkan
kini kamu menyebut namaku.
“Sejak
kerja gue punya asam lambung, Gar. Maaf ya gue duluan, gue doakan semoga
proyek kalian lancar. Oh iya, tolong antar Diandra pulang,” pesanku
kepada Edgar sambil meraih tas selempang di kaki meja, lalu melangkah ke
arah pintu kafe setelah kami berjabat tangan.
Di
luar pintu kafe, aku melihat jam tangan sebelum masuk ke dalam mobilku.
Pukul lima sore. Itu berarti perjalanan pulang ini akan terasa jauh lebih lama
karena lalu lintas Semarang sedang di luar nalar.
Jika
cinta adalah sungai, maka hati adalah teratai dan katak. Aku adalah teratai
tempatmu singgah selama ini, hingga akhirnya kamu memilih untuk
mulai melompat ke teratai lain. Aku menyalakan mesin mobil sambil melihat ke
jendela kafe dari kejauhan dengan kedua ujung bibir terangkat. Sepasang mataku
disajikan pemandangan seorang perempuan orang yang akan menjadi masa
laluku sedang memamerkan senyum yang diciptakan oleh calon masa depannya.
Seiring
roda mobilku meninggalkan pelataran parkir dan logikaku menanggalkan ego,
aku memutuskan untuk memperbaiki diriku sendiri. Kini bunga teratai hatiku
porak-poranda dan mulai karam ke dasar sungai. Namun bersama
waktu aku akan menumbuhkannya lagi, secara perlahan.
Mengalah
bukan berarti kalah. Aku memenangi sesuatu yang kuyakini sebagai jalan
terbaik yang menuju skenario kebahagiaan baru. Semoga aku tidak melangkah
mundur.
Crimson
Lotus. Faiz Al Farazdaq.
0 komentar:
Posting Komentar