Pesan Untukmu
Aku setuju dengan orang yang beranggapan bahwa jatuh cinta sendirian itu egois. Namun aku memiliki alasan yang sangat logis mengapa aku tidak pernah mengutarakannya padamu, atau hanya sekedar memberi sinyal-sinyal kecil yang menunjukkan bahwa aku ingin menciptakan senyum pada bibirmu yang mungil.
***
Keterbatasan
daya tahan tubuh membuatku pasrah merupa robot bernyawa yang menikmati tiap
detik di rumah sepanjang hari. Rutinitasku hanya bangun pagi, sarapan, membaca
buku-buku John Green, Ernest Hemingway, Franz Kafka, atau Haruki Murakami, yang
entah sudah berapa puluh kali kuulang, menonton televisi, dan tidur, atau
sesekali Ibu mengajakku menyapa sepoi angin sore di taman komplek
sambil memperhatikan betapa bahagianya hidup ini jika aku seperti manusia
normal pada umumnya.
Aku
tidak ingat kapan tepatnya aku benar-benar peduli kepada dunia, maksudku,
mengenalmu, ketika kita berdua saling bertatapan. Sore itu, kau datang ke
rumahku membawa kantung kertas berwarna cokelat berisi roti, susu, dan beberapa
camilan sehat untuk mengganjal rasa laparku. Kau menekan bel rumah sebanyak
tiga kali, tiga kali pula aku terbatuk ketika melangkah dari tempat tidur
menuju pintu.
Kemudian,
sepasang mata cokelat milikmu bertemu dengan kedua sorot mata gelapku ketika
pintu terbuka. Saat itulah waktu terasa mendadak berhenti karena jantungku
memompa darah ke sekujur tubuh lebih cepat dari biasanya.
“Brian,
ya? Ini aku Mentari, tetangga di depan rumah,” sapamu dengan nada ramah dan
senyum lebar sambil menunjuk sebuah rumah minimalis di depan rumahku. Aku
mengangguk sambil sekeras mungkin menahan getar hebat yang tiba-tiba muncul di
dalam tubuhku ketika kulihat jelas wajahmu.
“Tadi
aku ketemu Tante Reni di supermarket depan portal komplek, terus dia minta
tolong titip belanjaan sama aku soalnya mobilnya udah nggak muat. Tante Reni
lagi perjalanan ke sini.” lanjutmu sambil menyerahkan kantung kertas itu
padaku. Aku perlahan meraih pemberianmu dengan kepala menunduk dan tersenyum
malu, lalu menutup pintu.
“Jangan
lupa diminum obatnya, ya!” Suaramu kembali terdengar dari balik pintu. Kalimat
itu terngiang di telingaku dan bodohnya aku menyadari satu hal ketika
meletakkan kantung belanjaan itu ke permukaan meja makan: aku lupa mengucapkan
terima kasih.
Sejak
saat itu, barulah aku merasa seperti manusia normal yang sedang jatuh cinta.
Dunia begitu penuh warna. Aku seperti detektif yang memperhatikan tiap
gerak-gerikmu untuk mengumpulkan detil informasi tentangmu sebanyak yang bisa
kulakukan. Hanya itulah kegiatan yang membuatku bergairah menjalani hidup.
Ngomong-ngomong,
aku hapal rutinitasmu lewat jendela kecil kamarku yang menghadap ke arah jalan
yang membuat rumah kita berseberangan. Sesuai namamu, kau selalu bangun tidak
lebih dari pukul setengah tujuh pagi pada week day, seperti matahari
yang melaksanakan kewajibannya. Dengan mengenakan baju tidur yang sedikit
kebesaran, kau membuka pintu rumahmu, lalu mengambil koran langganan di kotak
pos di halaman kecil rumahmu sambil sesekali merenggangkan tubuh dan menghirup
udara segar.
Kau
berangkat kerja sebelum pukul delapan dan tiba kembali di rumah antara pukul
enam atau tujuh malam, kadang bisa lebih larut. Kau ramah kepada tetangga yang
lewat di depan rumahmu meskipun mereka terlihat menanggapi sapaanmu
dengan gestur yang dibuat-buat.
Pada akhir
pekan, kau selalu bangun lebih siang dan menikmati waktu dengan duduk di kursi
malas untuk membaca majalah sambil menikmati kudapan di teras rumahmu. Kadang
kau menghabiskan malamnya bersama seorang perempuan berambut pendek
yang mirip denganmu yang wajahnya lebih muda. Atau kadang kau menunggu
kedatangan seorang pria jangkung berjanggut tipis yang menjemputmu dengan
mobil sporty. Ketika hal itu terjadi, aku sering tidak bisa
tidur karena memikirkanmu sebelum pria itu memulangkanmu.
Aku
bersyukur kau tidak pernah menangkap basah mataku yang mengintip di
sela-sela gorden jendela. Terkadang, ketika aku sedang fokus
memperhatikanmu, tiba-tiba Ibu mengetuk pintu. Sontak aku menjerit di dalam
hati, menyiapkan wajah polos sebelum membukanya seolah kegiatan yang kulakukan
adalah fiksi.
Darimu
aku pun belajar bahwa jatuh cinta tak selalu indah. Hal itu kualami ketika
melihat pria jangkung itu dengan penuh penghayatan mencium bibirmu di dalam
mobil sebelum kau pamit untuk tenggelam di alam mimpi. Kadang pula kau
yang menciumnya terlebih dahulu. Aku melihat siluet khidmatnya perbuatan
kalian.
Suatu
malam, aku merekam peristiwa yang kusebut sebagai instrumen getir. Kau
membuka kaca jendela mobil pria itu, lalu melepas seat belt-nya dengan
cepat. Kau keluar dari mobil dengan langkah tergesa-gesa menuju pintu rumah
disusul jejak kaki pria itu. Di depan rumah kalian berdua mengucapkan kalimat
yang entah itu apa –aku tak dapat
mendengarnya– tapi dari wajahmu yang menyiratkan kemarahan dan kekecewaan
sudah cukup membuatku paham.
Tidak
lama berselang, pria itu menamparmu dengan wajah geram tanpa memedulikan malam
sudah meninggi, kemudian meninggalkanmu yang jatuh duduk di lantai dengan wajah
basah. Kau menutup setengah wajahmu sambil terisak sebelum hilang ditelan
pintu. Saat itulah aku mengenal patah hati tanpa bisa berbuat apa-apa
selain meladeni nyeri di sekujur tubuh yang memerintahkan kelenjar air mataku
melimpah ruah. Aku ingin sekali mempraktikan sebuah hal yang sering kutemukan
pada buku-buku romansa yang kubaca. Hal itu berkhasiat menenangkan dan
meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Caranya mudah, hanya
perlu menenggelamkanmu ke dalam dadaku sambil mengusap
pelan rambutmu.
Namun
aku tau itu mustahil. Siapa aku berhak melakukannya? dan aku tidak pernah
berandai-andai aku dan kau menjadi Augustus Waters dan Hazel Grace
Lancaster seperti di dalam novel The Fault in Our Stars. Kau adalah manusia
normal, sedangkan aku hanya seonggok raga sekarat yang duduk bersimpuh menanti
ajal.
Mencintaimu
lewat jendela ini sudah lebih dari kemewahan. Melihat senyummu yang seindah
pagi muda sudah seperti surga bagiku. Hidup ini terlalu singkat untuk
merisaukan apa yang nantinya dilakukan semesta kepada kita. Takdir adalah
ketetapan yang tak bisa diubah dan dipesan. Akan tetapi aku percaya tak ada
takdir yang buruk, seperti yang Tuhan berikan padaku.
Tuhan
menyayangiku dengan cara memberikan usia yang divonis dokter tidak lebih dari
setengah tahun, tapi Dia menghadirkan muara bahagia lewat dirimu. Dengan
kata lain, aku tidak perlu bersusah payah menjalani proses mencari sumber
bahagiaku layaknya manusia normal, yang harus berpindah dari satu hati ke hati
lainnya demi menemukan seseorang yang mereka tetapkan
sebagai jodoh. Bagiku, kau adalah kebahagiaan sederhana yang hakiki tanpa
perlu mengikat janji setia di hadapan banyak orang.
***
Malam
ini lantai kamar mandiku didominasi bercak merah, yang menyebabkan Ibu
berteriak panik dan memanggil ambulance. Aku kehilangan kendali
atas tubuhku sendiri ketika nyeri mahadahsyat menyerang paru-paruku dan
menimbulkan batuk bertubi-tubi.
Aku
sudah menanti hari ini tiba dengan penuh persiapan tanpa
melibatkan harapan. Sore tadi, kalau tidak salah pukul empat sore, aku
menaruh secarik kertas ke dalam kotak suratmu. Semoga kau dapat membaca
tulisannya di antara bercak noda merah yang jatuh dari mulutku karena aku tidak
pernah menulis lagi sejak kuketahui penyebab napasku berhenti.
Aku
bisa merasakan dengan jelas bahwa hari ini adalah terakhir kalinya dunia penuh
warna. Jika saja aku memiliki sisa kekuatan untuk menggetarkan pita
suaraku, aku ingin sekali berkesempatan menitipkan salam padamu lewat
ibu, dokter, atau suster yang kini setengah panik mendorong ranjangku di lorong
rumah sakit.
Sebelum
semua menjadi hitam ketika kain putih menandakan ujung jiwaku pergi dan aku
diantar menuju keabadian, aku ingin melihat senyummu ketika kau membaca
pesanku, Mentari.
‘Terima kasih, berkatmu aku menikmati
betapa bahagianya sebuah pertemuan dan perpisahan tanpa perlu melambaikan
tangan.’
0 komentar:
Posting Komentar